BENING HATI LURUS AMALAN

Seutama-utamanya berdzikir membaca Al-Quran

Sabtu, 11 September 2010

CIRI-CIRI MUKMININ


إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (4)

Terjemahannya“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” Q.s. Al –Anfal : 2-4

Korelasi dengan Ayat Sebelumnya
Didalam ayat sebelumnya Allah Swt. memerintahkan untuk mentaatiNya dan mentaati rasulNya seraya Dia menyebutkan “jika keadaan kalian orang-orang yang beriman”, sesungguhnya keimanan itu menuntut ketaatan, didalam ayat ini Allah merinci sifat dan keadaan orang-orang yang beriman ( Al-Khazin, III, t.t. : 158 ).

Tafsir Ayat

Kesejatian iman adalah keterpaduan antara amalan hati, lisan dan anggota badan. Terhadap orang yang berpura-pura menyembunyikan kekafiran, yaitu kaum munafik sedikitpun tidak akan merembes ke dalam hati dzikrulloh ketika menunaikan berbagai kefardluan. Mereka tidak mempercayai sedikitpun ayat-ayat Allah. Mereka melaksanakan shalat hanya untuk pamer kepada orang-orang beriman dan tidakpula mereka menunaikan kewajiban zakat dari hartanya.. Allah menginformasikan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang beriman seraya merinci sifat-sifat orang yang beriman pada ayat ini (Ibnu Katsir,IV, 1999 : 11 ). Ketahuilah! Sesungguhnya ayat ini menunjukkan bahwa keimanan tidak akan diraih kecuali dengan adanya lima perkara.:
Pertama, takut kepada Allah
sebagaimana ayat tersebut mengisyaratkan , “alladzina idza dzukirollohu wajilat qulubuhum”, “ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka”. Maksudnya, seorang mukmin itu nyata eksistensi keimanannya yang dibuktikan dengan takut kepada Allah. Beberapa ayat yang senada dengan ayat ini menuntun penjelasan kepada kita, yaitu:
{ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الذين يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ } [ الزمر : 23 ]
Terjemahannya:”… Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya…”
{ الذين هُم مّنْ خَشْيةِ رَبّهِمْ مُّشْفِقُونَ } [ المؤمنون : 57 ]
Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati Karena takut akan (azab) Tuhan mereka”
وقوله : { الذين هُمْ فِى صَلاَتِهِمْ خاشعون } [ المؤمنون : 2 ]
Terjemahannya: “(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sholatnya”.
Menurut pendapat para ahli hakikat, al-khauf (takut) itu ada dua kategori: khauful ‘adzab (takut terhadap siksaan) dan khauful ‘uzhmah wal jalal (takut terhadap keagungan dan kemuliaan). Takut terhadap siksaan karena melepaskan kesetiaan. Sedangkan takut terhadap keagungan dan kemuliaanNya tidak akan sirna dari qolbu seorang makhlukpun, baik di kalangan malaikat yang senantiasa bertaqorrub kepadaNya ataupun di kalangan para nabi dan utusanNya, karena Allah Ta’ala Maha Kaya DzatNya dari setiap yang maujud, sedangkan setiap sesuatu yang maujud selainNya membutuhkanNya. Orang yang merasa banyak kebutuhan ketika hadir disisi Raja DirajaYang Maha Kaya Yang disegani dan ditakuti bukanlah segan terhadap siksaanNya, melainkan ia hanya mengetahui keadaan rajanya itu Maha kaya darinya. Ia menjadi merasa teramat membutuhkanNya. Jika yang dimaksud dengan al-wajal ( takut ) disini kategori yang pertama, maka hal itu tidak akan terjadi hanya mengandalkan dzikrulloh. Hanyasaja takut seperti itu dapat diraih dengan cara mengingat siksaan Allah.. Ini lebih proporsional , karena maksud ayat tersebut berisi kemestian pengikut perang badar untuk mentaati Allah dan mentaati rasulNya berkenaan dengan pembagian harta rampasan perang. Adapun jika yang dimaksud dengan al-wajal (takut) disini kategori yang kedua, maka wujudnya hanya dzikrulloh, tidak ada lagi makna yang tersembunyi.
Jika dikatakan, sesungguhnya Allah Ta’ala disini berfirman , “wajilat qulubuhum”, “gemetarlah hati mereka”, sedangkan didalam ayat lain Dia berfirman, “alladzina amanu watathmai’innu qulubuhum bidzikrillahi”, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’du: 28).Bagaimana mengkompromikan diantara keduanya? Didalam ayat yang lain juga Allah berfirman, “tsumma talinu juluduhum wa qulubuhum ila dzikrillahi”, “gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya” (Q.S.Az-Zumar: 23). Menurut pendapat Imam Ar-Razi, al-ithmi’nanu (ketentraman) itu hanya ada karena merasa nyaman berkeyakinan, lapang dada karena mengetahui secara mendalam ketauhidan. Sedangkan al-wajal (takut) hanya terjadi karena takut terhadap siksaan. Dengan demikian, antara satu ayat dengan ayat yang lainnya tidak saling menafikan, bahkan kedua sifat itu berhimpun dalam ayat 23 Surat Az-Zumar: gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.”. Makna “taqsya’irul juludu “, “gemetar karenanya kulit”disebabkan takut terhadap siksaan Allah. Sedangkan makna ,” Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka”ketika berharap pahala dari Allah.
Menurut satu pendapat, ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang hendak melakukan kemaksiyatan lalu dikatakan kepadanya, “Takutlah Engkau kepada Allah!” Maka ia menghindarkan diri dari kemaksiyatan yang dikehendakinya karena takut terhadap siksaanNya. (Al-Baidlawi, II, t.t. : 363). Sejalan dengan pendapat ini, Imam As-Sudi memberikan komentar berdasarkan hadits shahih bahwa ayat ini cerminan sikap takut terhadap Allah dari seorang lelaki yang diajak berbuat mesum oleh seorang wanita rupawan dan bangsawan, akan tetapi ia sanggup menangkis dengan ucapan, “inni akhofulloh …..”, “sesungguhnya aku takut kepada Allah” (Abu Hayyan,VI, t.t. : 31)
Kedua, bertambah mantap keimanan ketika dibacakan ayat-ayat Allah
Firman Allah, “waidza tuliyat ‘alaihim ayatuhu zadathum imanan”, “dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), menjadi dalil terdapat sinyalemen bertambah dan berkurangnya keimanan. Umair bin Hubaib pernah berkata, “Sesungguhnya iman itu bertambah dan berkurang”. Ketika ia ditanya, “Apa ciri bertambah dan berkurangnya keimanan itu?” Beliau menjawab, “Apabila kita menyebut Allah dan kita takut kepadaNya, maka yang demikian itu bertambah keimanan. Sedangkan apabila kita lalai, lupa dan mengabaikan ( mengingatNya ) , maka yang demikian itu berkurang keimanan” ( Fathul Majid, hlm. 362 ).
Redaksi Q.S. At-Taubah ayat 124 hampir senada dengan ayat ini, firmanNya:
{ وَإِذَا مَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هذه إيمانا }[ التوبة : 124 ]
Terjemahannya: “ Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?"
Terdapat dua sorotan sehubungan bertambah mantap keimanan mukminin. karena dibacakan ayat-ayat Allah. Sorotan pertama, menurut mayoritas ilmuwan keimanan mereka bertambah mantap karena semakin banyak wawasan dalil-dalil yang difahaminya sehingga menghilangkan keraguan dan menguatkan keyakinan. Abu Bakar As-Shiddiq merupakan prototife manusia yang diisyaratkan menempati posisi ini. Nabi saw. menuturkannya:” Sekiranya ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan penduduk bumi, niscaya lebih kuat keimanan Abu Bakar”.. Yang dimaksudkan oleh Nabi saw. bahwa makrifat Abu Bakar terhadap Allah lebih kuat dari manusia manapun selain beliau.. Sorotan kedua, bertambah mantap keimanan mereka karena membenarkan melalui pengikraran bahwa setiap yang dibaca bersumber dari Allah.
Dalam persefsi Ibnu al-Jauzi ( Zadul Masir, III, t.t. : 84 ) bertambah keimanan ketika dibacakan ayat-ayatNya termanifestasikan dalam tiga bentuk: 1) tashdiq (membenarkan) . Merujuk kepada hasil penggalian makna Ibnu Abbas, sesungguhnya setiap datang sesuatu dari Allah mereka membenarkannya, maka bertambah keimanannya dengan bertambah ayat-ayat Allah yang datang kepadanya. 2) yaqin ( meyakini ), sesuai persefsi mufassir generasi tabi’in yaitu Adl-Dlahak. 3) Khasyyatulloh ( takut terhadap Allah ). , selaras dengan pendapat Ar-Rubai’ bin Anas.
Ketiga, bertawakal hanya kepada Allah
“Wa’ala robbihim yatawakkalun”, “Dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal”. Dalam kalimat ini terdapat al-hasr ( pembatasan ) tempat penyandaran orang beriman itu dikala membutuhkan pertolongan ataupun dikala menghindarkan bahaya hanyalah Allah Rabbul ‘izzati.Berdasarkan ini Said bin Jubair berkata, “Bertawakal kepada Allah itu menghimpun keimanan”. Dalam redaksi yang lain ia menyebutkan bertawakal kepada Allah itu separuh dari iman ( As-Sayuthi, IV, t.t. : 411 ).
Bersandar kepada Allah menurut pengamatan akal yang jernih tentu tidak boleh mengabaikan sarana-sarana secara syar’i yang mendekatkan sampainya kepada pertolongan Nya. Bahkan sarana-sarana itu yang membuka jalan perantara untuk mencapai tujuan karena menunjukkan kekuatan keimanan dan menunjukkan cara yang baik mentaatiNya terhadap sesuatu yang diperintahkanNya dan terhadap sesuatu yang disyari’atkanNya. Bukanlah bagian dari keimanan, tidak akan bisa diterima secara logika dan tidakpula termasuk bertawakal kepada Allah orang yang hanya menunggu buah tanpa menyemai bijinya, orang yang ingin merasakan kenyang tanpa makan, orang yang ingin menuai keberhasilan tanpa bersusah payah, begitupula orang yang ingin meraih pahala tanpa beramal salih. Sesungguhnya orang beriman itu orang yang menggunakan akalnya dan bertawakal kepadaNya secara langsung bersentuhan dengan sebab-sebab yang disyariatkanNya untuk mencapai tujuan yang diraihnya, kemudian setelah itu, ia menyerahkan urusan kepadaNya ( Sayyid Thanthawi, I, t.t. : 1770 ). Dalam pandangan Wahbah Zuhaili (Al-Munir, V, 2005 : 260 ), menanggalkan sebab-sebab yang menjadi sarana penggalang keberhasilan merupakan kebodohan dalam memahami tawakal kepada Allah.
Keempat, mendirikan shalat
Maksudnya mereka melaksanakan shalat dalam keadaan menyempurnakan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, berdiri, rukuk, sujud, membaca bacaan dan doa-doa, ditunaikan pada waktu yang ditetapkan secara syar’i disertai penuh kekhusyukan , merasakan tengah bercakap-cakap dengan Yang Maha Pengasih dan tenggelam menyelami makna bacaan Al-Quran. Disini kita melihat bahwa keimanan itu mempunyai bentuk gerakan yang zhahir setelah diurai-jelaskan kepada kita tiga keadaan dalam bentuk perasaan hati yang bersifat bathin. Dengan demikian, ternyata keimanan itu sesuatu yang ditetapkan dalam hati dan dibenarkan dengan amalan: Amalan itu menunjukkan zhahir keimanan yang mesti sisi zhahirnya berupa praktik yang dapat dilihat. Mendirikan shalat bukan sekedar melaksanakannya, tetapi mewujudkan hakikat dalam pelaksanaannya, yaitu menunaikan kesempurnaannya yang layak difahami oleh seorang hamba bahwa ia tengah berhadapan dengan Allah Swt. Bukan sekedar melafalkan bacaan, berdiri, rukuk, sujud, sedangkan hati dipenuhi kelalaian ! ( Fi Zhilalil Quran, III: 364 ).
Kelima, membelanjakan harta di jalan Allah ( infaq )
Maksud infaq dalam ayat ini mencakup mengeluarkan zakat dan beragam hak-hak bagi sesama hamba dalam bentuk yang diwajibkan ataupun yang disunatkan. Dikhususkan amaliyah zhahir sebagai indikator keimanan dengan mendirikan shalat dan menunaikan infaq karena keadaan keduanya sebagai pokok kebaikan ( Asy-Syaukani, III, t.t. : 148 ). Teristimewa penyebutan shalat dibarengi dengan infaq atau zakat dalam beberapa ayat karena keduan peribadatan itu menjadi poros kebersihan ruhani individual dan kemaslahatan komunal dalam beragama. Suatu kemusykilan seorang hamba mencuci ruhani agar bersih dengan shalat tetapi mengabaikan mununaikan ibadah dengan hartanya. Justru diantara sumber kotoran ruhani itu dari harta. Karena ruhani teramat tendensius kepada harta yang mengakibatkan terjangkit penyakit dengki, serakah dan kikir!
Setelah merinci sifat-sifat mukminin Allah memungkas firmannya, “Ula’ika humul mu’minuna haqqon”, “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. Sifat-sifat tersebut hanya terdapat pada diri dan amaliyah orang beriman dengan sebenar-benarnya. Barangsiapa yang tidak ditemukan pada dirinya sejumlah sifat tersebut, berarti ia tidak mendapatkan sifat keimanan. .Ibnu Abi Nujaih berkata: Seorang lelaki pernah bertanya kepada Al-hasan, “Apakah Engkau seorang yang beriman?” Al-Hasan menjawab, “Jika yang ditanyakan olehmu kepadaku berkenaan dengan iman kepada Allah, iman kepada MalaikatNya, iman kepada kitab-kitabNya, iman kepada para utusanNya, iman kepada hari akhir , iman kepada Sorga dan Neraka, iman kepada hari kebangkitan dan perhitungan, maka saya orang yang beriman terhadapnya. Tetapi jika yang engkau tanyakan kepadaku berkenaan dengan firman Allah, “ innamal mu’minulal ladzina idza dzukirollohu wajilat qulubuhum”,maka aku tidak tahu, apakah aku termasuk golongan mereka atau bukan?” (Al-Baghawi, III, 1997: 326 ). Demikian juga Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah menulis, Sesungguhnya iman itu memiliki sunat-sunat, macam-macam kefardluan dan syari’at-syari’at, maka barangsiapa yang menyempurnakannya niscaya sempurna keimanannya dan barangsipa yang tidak menyempurnakannya tidak akan sempurna keimanannya (Al-Kasyaf, II, t.t.: 335). Adapun bagian-bagian yang dapat menyempurnakan keimanan itu terdapat pada pelaksanaan cabang-cabang keimanan.
“Lahum darojatun ‘indarobbihim”,”mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya”, yakni beberapa derajat Sorga yang mengangkatnya sesuai dengan amal perbuatannya. Menurut satu pendapat, bagi mereka ada beberapa amal yang mengangkat derajatnya dan mengunggulkannya untuk menerima hak-haknya dalam kehidupan di akhirat. “Wa maghfirotun”, “ dan pengampunan”, maksudnya terhadap dosa-dosa mereka. “Wa rizqun karim”, “serta rezki (nikmat) yang mulia.” , maksudnya kedudukan yang terhormat di Sorga ( Ath-Thibrisi, IV, 1968 : 465 ). Wallohu ‘alam bishshowwab.

Tidak ada komentar: