BENING HATI LURUS AMALAN

Seutama-utamanya berdzikir membaca Al-Quran

Sabtu, 18 September 2010

KRITERIA PENDUSTA AGAMA

KRITERIA PENDUSTA AGAMA
Surat Al-Ma’un
| بسم الله الرحمن الرحيم
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
Terjemahannya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?  (1 ) Itulah orang yang menghardik anak yatim ( 2 ) Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. ( 3 ) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat ( 4 )  (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya ( 5 ) Orang-orang yang berbuat riya ( 6 ) Dan enggan (menolong dengan) barang berguna” ( 7 ).

            Menurut jumhur ayat ini diturunkan di Mekah. Sedangkan menurut Ibnu Abbas dan Qatadah ayat ini diturunkan di Madinah. Habbatullah berpendapat,  sebagian diturunkan di Mekah berkenaan dengan  Al-Ash bin Wa’il dan sebagiannya diturunkan di Madinah  berkenaan dengan tokoh munafik Abdullah bin Ubay.
            Dinamakan Surat Al-Ma’un, karena Allah mencela puncak aksi mereka di Madinah yang enggan  ( menolong dengan ) barang yang berguna. Mereka disinyalir sebagai orang-orang yang lalai dari shalatnya dan divonis sebagai orang-orang yang munafik. Dinamakan pula Surat Ad-Din untuk memberitahukan kepada orang-orang yang hendak menganalisa surat ini tentang orang yang mendustakan Ad-Din.
            Al-Din adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan di dalam kitabnya yang bijaksana dan Sunnah NabiNya yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan , serta petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat ( A.Zakariya, 1981 : 1 ). Lazimnya dalam bahasa Indonesia Al-Din diterjemahkan “agama”.
            Zuhayli ( Al-Munir, XV : 419 -420 ), mendeskripsikan Surat Al-Maun dengan Surat sebelumnya, yaitu:
1)      Di dalam Surat Al-Quraisy  Allah mencela orang-orang yang menganggap remeh nikmatNya, yakni orang-orang yang diberi makan olehNya untuk menghilangkan lapar, sedangkan di dalam Surat Al-Ma’un, Dia mencela orang-orang yang tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
2)      Di dalam Surat Al-Quraisy Allah memerintahkan untuk mengibadahi dan mentauhidkanNya, sedangkan di dalam Surat Al-Ma’un , Dia mencela orang-orang yang lalai dari shalatnya.
3)      Di dalam Surat Al-Quraisy Allah menyebutkan keutamaan nikmat atas Bangsa Quraisy tetapi mereka mengingkari hari kebangkitan dan menganggap enteng balasan akhirat, sedangkan di dalam Surat Al-Ma’un , Dia mengancam dan menakut-nakuti dengan adzab terhadap orang yang mengingkari pembalasan akhirat.
Sabab Al-Nuzul
             Ibnu Abas berpendapat , ayat ini diturunkan berkenaan Al-Ash bin Wa'il  al-Sahmi ( Tanwir al-Miqbas, hlm. 520 ). Menurut al-Sudi diturunkan berkenaan dengan al-Walid bin al-Mughirah. Ada juga yang berpendapat, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kasus yang dilakukan oleh Abu Jahl. Ebagai pemngemban wasiyat yatim, suatu ketika ia didatangi yatim. Dalam keadaan bertelanjang anak yatim itu meminta harta miliknya, tetapi Abu Jahl menolak memberikannya.
            Menurut Ibn Juraij, ayat tersebut diturunkan berkenaan Abu Sufyan yang menyembelih unta setiap minggu. Lalu ia menuntut sesuatu karena penyembelihannya kepada yatim. Apabila tidak dipenuhi tuntutannya , ia memukul yatim dengan tongkatnya. Maka Allah menurunkan Surat ini.
            Ibn al-Mundzir meriwayatkan melalui Ibn Abas mengenai sebab turun ayat ke-4. Katanya , ia diturunkan berkenaan dengan orang munafik, yang memamerkan shalat di hadapan mukminin tetapi meninggalkan shalat di belakang mereka, serta enggan memberi pinjaman kepada mereka
Tafsir Ayat
            Surat yang pendek ini terdiri atas tujuh ayat yang ringkas, membahas hakikat yang besar, yang nyaris merupakan pengertian kontradiktif antara iman dan kufur ( Fi Zhilal al-Quran, VI : 3984 ).
            “Ara’aytalladzi yukadzdzibu bid din”, “Tahukan Kamu orang yang mendustakan agama?” Diungkapkan dengan bentuk kalimat bertanya yang berfungsi agar pendengar memperhatikan dan takjub terhadap informasi yang hendak disampaikan ( Shafwat al-Tafasir, III : 610 ).
            Khithab ( rekanan bicara ) ayat ini ditujukan kepada Nabi saw, dan kepada setiap orang yang berakal. Maknanya, “Apakan Engkau tahu orang yang mendustakan hari pembalasan itu? Jika Engkau tidak mengetahuinya, atau Engkau hendak mengetahuinya, yaitu orang yang menolak anak yatim secara kejam dan membentaknya secara buruk” ( Al-Qasimi, X, t.t. : 269 ). Orang yang menyusahkan anak yatim, menzhalimi haknya, tidak memberi makan dan tidak berbuat baik kepasanya, menurut Ibnu Katsir ( IV, 1992 : 681 ), termasuk “yadu’ul yatim”, menghardik anak yatim. Berpegang pada qaidah “Al-Quran itu  sebagian ayatnya menafsirkan ayat yang lain”, selanjutnya Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan Surat Al-Fajr: 16, yang terjemahannya, “Sekali-kali tidak ( demikian ), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.”
            Di dalam bab “Haq al- Yatim”, Ibnu Majah ( II, t.t. : 1213 ) meriwayatkan pernyataan Rasulullah saw, yang menyebutkan: “Ya Allah, sesungguhnya aku menganggap dosa orang yang menyia-nyiakan hak dua golongan yang lemah, yaitu: anak yatim dan perempuan. Sebaliknya, orang yang memelihara anak yatim, di Sorga kelak ditempatkan pada posisi yang berdekatan  dengan Nabi saw. Beliau menamsilkan dekatnya seperti jari telunjuk dan jari tengahnya ( Riyadl al-Shalihin, hlm. 90 ).
            Pendusta agama itu, menurut penafsiran Sayyid Quthb, adalah orang yang memandang hina dan menyakiti anak yatim. Tidak mengajak orang lain untuk memberi makan orang miskin, dan tidak memerintahkan orang lain untuk memeliharanya. Seandainya ia benar-benar beriman kepada agama secara mantap dalam lubuk hatinya, sudah barang tentu tidak akan membiarkan  anak yatim  dan tinggal diam tidak menyuruhorang lain untuk memberi makan orang miskin ( Fi Zhilal al-Quran, VI : 3984 ).
            Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat. ( Yaitu ) orang-orang yang lalai dari shalatnya, oranmg-orang yang berbuat riya’ dan enggan ( menolong dengan ) barang yang berguna”.. Yang diminta adalah menegakan shalat, bukan semata-mata melaksanakannya. Menegakan shalat itu tidak mungkin terjadi tanpa menghadirkan hakikat shalat dan melaksanakannya semata-mata karena Allah.. Menuru Imam Al-Maraghi (X, 249 – 250 ), “fawailul lilmushollin”, “Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat” itu bagi orang yang melaksanakan shalat dengan tidak menghayati apa yang diucapkan lisannya. Dengan demikian,  mereka hanya melaksanakan gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan shalat, tetapi qolbu mereka terputus berkomunikasi dengan Allah. Sesungguhnya mereka melaksanakan shalat untuk pamer kepada manusia, bukan karena Allah.
            Quthub menegaskan tipologi shalat seperti ini tidak akan mendatangkan pengaruhnya di dalam jiwa. Akibatnya, mereka tetap saja enggan memberi bantuan kebaikan kepada saudaranya sesana manusia dan enggan menolong hamba-hamba Allah. Sekiranya mereka menegakkan shalat secara konsisten karena Allah, niscaya tidak akan enggan menolong hamba-hambaNya. Ini merupakan batu ujian ibadah yang benar lagi diterima disisi Allah.
            Shalat yang tidak memotivisir ruhani untuk menolong hamba-hamba Allah yang tengah terjepit dalam kesulitan hidup, adalah shalat orang munafik. Shalat pendusta agama! Naudzu billahi min kadza.

Tidak ada komentar: