BENING HATI LURUS AMALAN

Seutama-utamanya berdzikir membaca Al-Quran

Jumat, 17 September 2010

MENGGAPAI KESEJATIAN AMAL

Keikhlasan merupakan ujian bagi amalan

@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ
Terjemahannya: “Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Korelasi Antar Ayat
Setelah Allah menerangkan keluasan ilmuNya yang tidak terbatas, Dia mengakhiri Surat Al-Kahfi seraya menginformasikan dimensi manusiawi yang ada pada diri Nabi saw, seperti lazimnya yang dimiliki oleh manusia lainnya. Bedanya,  Nabi itu diberi ilmu yang bersumber dari wahyu Ilahi, dari Pemilik Ilmu Yang Maha Mengetahui. Di akhir Ayat Surat Al-Kahfi ini Allah pun mengingatkan  tentang ke-EsaanNya dan memberikan motivasi untuk mengerjakan sesuatu yang dapat menyelamatkan diri di hari akhirat.
Makna Global
Ayat ini meringkas objek penjelesan eksplisit yang terkandung di dalam Surat Al-Kahfi.  Dia menghimpun tiga aspek yang menjadi dasar Al-Islam, yaitu: aspek ketauhidan, aspek kenabian dan aspek keakhiratan. Aspek ketauhidan terdapat pada redaksi, “Annama ilahukum ilahuw wahidun”, “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu  adalah Tuhan Yang Esa”. Aspek kenabian terdapat pada potongan ayat, “Innama ana basyarum mitslukum”, “ Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian”, dan pada potongan ayat, “Falya’mal amalan sholihan”, “Hendaknya ia mengerjakan amal shalih”. Sedangkan aspek  keakhiratan diredaksikan  pada penggalan ayat, “Faman kana yarju liqo’a robbih”, “ Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan tuhanNya”.
Al-Baydlawi berpendapat, ayat ini menghimpun ringkasan ilmu dan amal, yakni ketauhidan  dan ikhlas  dalam ketaatan yang direalisasikan dengan cara menjauhkan diri dari riya’ yang dikenal sebagai syirik kecil  atau syirik yang tersembunyi.
Sebab  Turun Ayat
Di dalam Kitab Al-Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, Al-Suyuthi ( V, 1983: 469 )menyingkap beberapa versi riwayat yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, yaitu:
1.      Ibn al-Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn Mardawayh dan Al-Bayhaqi di dalam bab Syu’bu al-imanmeriwayatkan melalui Ibn Abas. Katanya ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah. Tidak berkenaan dengan orang-orang mukmin.
2.      Abdurrazaq, Ibn Abi al-Dunya, Ibn Abi Hatim, al-Thabarani dan al-Hakim telah meriwayatkan dari Thawus, ia berkata: “Seorang lelaki telah berkata, “Ya Nabiyallah, saya berwakaf mengharap pahala dari Allah dan menyukai agar dilihat kedudukanku.” Beliau tidak memberikan respon sedikitpun terhadap si lelaki itu sampai turun ayat ini.
3.      Ibn Mandah, Abu Nu’aym, Ibn Asakir melalui sanad  as-Sudi al-Shaghir telah meriwayatkan melalui al-Kalbi dari Abu Shalih dan dari Ibn Abas, ia berkata, “Jundab bin Juhayr apabila telah shalat, berpuasa dan bersedekah suka menyebut-nyebut kebaikan yang membuat puas dirinya. Perbuatan itu menjadi bahan percakapan orang lain. Maka Allah mengecamnya. Karena kasus ini Dia menurunkan ayat, “Faman kana yarju liqo’a robbih…”.
4.      Ibn Abi Hatim telah meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata, “Ada sebagian kaum muslimin yang berperang, sedangkan mereka menyukai dilihat dari kedudukannya, maka Allah menurunkan, “Faman kana yarju liqo’a robbih …”.
5.      Hannad, di dalam Bab al-Jihad, telah meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki mendatangi Nabi saw. seraya ia berkata, “Ya Rasulallah, saya hendak bersedekah dengan satu sedekah. Saya melakukannya karena Allah dan menyukai agar disebut sebagai satu kebaikan”. Maka Allah menurunkan, “Faman kana yarju liqo’a robbih …”.
Al-Tafsir wa Al-Bayan
Setelah Allah menerangkan kesempurnaan Kalamullah, Dia memerintahkan Muhamad saw. untuk bertawadlu, seraya berfirman, “Katakanlah, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, sesungguhnnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa”. Maksudnya,  “Katakanlah hai Muhamad kepada mereka, sesungguhnya aku ini tiada lain, kecuali seorang manusia seperti kalian secara manusiawi. Aku tidak mempunyai sifat Malaikat ataupun sifat ketuhanan. Tidak ada pengetahuan bagiku, kecuali apa yang telah Allah ajarkan kepadaku. Hanya, Allah Ta’ala telah mewahyukan kepadaku, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa. Tempat bergantung semua makhluk. Karena itu tidak ada sekutu bagiNya di dalam ketuhananNya. Sembahan kalian yang wajib disembah adalah sembahan Yang Esa ( Zuhayli, VIII, 1991 : 43 ).
Imam Al-Razi ( XXI, 1990: 177-178 ), bertutur, potongan ayat tersebut memuat dua tuntutan: pertama, lafazh “annama” memaidahkan al-hasyr ( membatasi ) dzat yang dipertuhankan. Kedua, adanya Tuhan Yang Maha Tinggi hanya Tuhan Yang Esa, Ilahuw wahidun. Jadi, Dia menerangkan eksistensinya yang ditetapkan dengan dalil sam’i.
“barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". Dianalisa secara redaksional keyakinan tentang akhirat ( liqo’alloh ) dihubungkan dengan amal shalih yang disertai tidak mempersekutukan di dalam mengibadahiNya, sebab meyakini keesaanNya yang dibarengi mempersekutukanNya dalam beramal merupakan urusan yang kontradiktif. Mustahil untuk berpadu!
Menurut interpretasi Al-Maraghi (XVI, t.t. : 300 ), “Barangsiapa yang optimis terhadap balasan dari Allah atas ketaatannya, maka hendaklah ia ikhlas mengibadahiNya, meng-Esakan kerububiyahanNya, dan tidak mempersekutukanNya dalam bentuk apapun, baik secara nyataseperti yang diperbua oleh orang-orang yang mengingkari perjumpaan denganNya, ataupun secara sembunyi-sembunyi seperti yang dilakukan oleh orang yang berbuat riya’. Mereka beramal untuk mencari balasan yang bersifat duniawi.
Menurut Ibn Katsir ( III, 1992: 133 ), ayat tersebut sebagai dasar hukum tentang dua unsur bagi diterimanya suatu amal, yakni: Pertama, sesuai dengan syari’atNya; Kedua, ikhlas mengharapkan balasan dariNya.
Tidak ada silang pendapat bahwa ikhlas dan al-mutaba’at ( mengikuti Sunnah Nabi saw. ) menjadi syarat sah diterimanya suatu amal. Al-Fadlil bin ‘Iyadl ra,. menafsirkan, “Liyabluwakum ayyuhkum ahsanu ‘amalan”, “Supaya Dia menguji kalian, siapa diantara kalianyang paling baik amal” ( Q.S. 67 : 2 ) dengan”akhlashahu wa ashwabahu”, yang paling ikhlas dan yang paling sesuai. Ketika ditanya tentang maksud penafsirannya beliau menjawab, “suatu amal jika ikhlas saja tanpa shawwab, tidak akan diterima. Demikian pula jika shawwab saja tanpa ikhlas, tetap tidak akan diterima sehingga menjadi ikhlas dan shawwab. Ikhlas itu amal yang diperbuat karena Allah. Sedangkan shawwab amal yang diperbuat sesuai dengan tuntutan sunnah (Fathu al-Majid, hlm. 381 ).
Berkenaan dengan keikhlasan dalam versi sufistik ada tiga tipe ‘abid. Pertama, ‘abid yang bertipe pedagang, yaitu seseotrang yang melakukan praktik ibadah untuk memperoleh imbalan yang menyenangkan. Kedua, ‘abid yang bertipe budak atau buruh, yaitu seseorang yang melaksanakan peribadatan karena takut majikannya.  Orang yang beribadah karena dorongan takut siksa Neraka pada hakikatnya telah memperagakan sikap budak atau buruh. Ketiga, ‘abid yang bertipe orang bijak,  yaitu seseorang yang beribadah karena menyadari betapa besar anugerah dan jasa yang telah diperolehnya dan betapa bijaksana Tuhan dalam segala ketetapan dan perbuatanNya ( Shihab, 1996 : 68 ).
‘Abid yang bertipe orang bijak beribadah karena tasa syukur yang ditujukan kepadaNya. Ia telah melepaskan belenggu “iming-iming” pahala dan “amang-amang” rasa takut dari siksaNya. Ia intim “bergaul” denganNya karena terasa segala kerahmaniahanNya. Itulah motif peribadatan yang dicontohkan Rasululla saw. ketika kaki beliau bengkak-bengkak akibat berdiri lama dalam tahajudnya, Aisyah berkata, “Wahai Rasulallah, mengapa Engkau berbuat demikian? Padahal semua dosamu  baik yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni! Beliau menjawab, “Tidakkah sudah selayaknya aku menjadi ‘abid yang bersyukur?” (Al-Bukhari, I, t.t. : 1980 ). Wallohu’alam bish shawwab.

Tidak ada komentar: